Keterangan Gambar : Praktisi Hukum dari Universitas Bojonegoro (Unigoro), Irma Mangar, SH., MH.
BOJONEGORO – Pengadilan Agama (PA) Bojonegoro mencatat, per Juni 2025 jumlah pemohon dispensasi perkawinan (diska) sebanyak 163 anak. Menurut pemerhati perempuan dan anak dari Fakultas Hukum Universitas Bojonegoro (Unigoro), Irma Mangar, SH., MH., terjadinya fenomena seperti ini tidak bisa dibebankan pada orang tua saja sebagai penanggung jawab utama.
“Rata-rata permohonan diska diajukan ketika sudah terjadi accident (hamil di luar nikah, Red). Orang tua dan anak tidak punya solusi lagi selain menikah. Tetapi kalau lihat amanat UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014. Yang berwenang untuk menjaga anak adalah orang tua, negara, dan lingkungan sosial sekitar. Masyarakat juga berperan sebagai kontrol sosial perilaku anak di luar rumah,” tegasnya, Kamis (10/7/25).
Irma melanjutkan, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menekan angka pernikahan dini di Kota Ledre. Regulasi yang mengatur batas usia minimal seseorang legal untuk menikah di 19 tahun belum sepenuhnya bisa menjadi solusi efektif. Dia mendorong masyarakat di lingkungan sekitar aktif menjadi kontrol sosial perilaku anak saat tidak bersama orang tuanya. Contohnya, menegur anak-anak yang berpacaran di tempat umum. “Kafe sejatinya adalah tempat untuk ngopi atau nongkrong bersama teman sambil makan. Tapi ketika kafe justru dijadikan tempat pacaran dan anak-anak bebas mempertontonkan kemesraan di muka umum? Pemilik kafe dan pengunjung juga berhak menegur. Kalau dibiarkan, kita sama saja membentuk moral yang rusak. Orang-orang tidak akan peduli jika anak-anak membuat hal sembrono. Karena masyarakat sudah menormalisasikan hal-hal tabu,” papar dosen asal Kepulauan Aru, Maluku.
Irma tidak
menampik jika anak-anak yang ditegur karena perilakunya menyimpang dari norma
sosial akan berkilah. Bahwa berpacaran di tempat umum tidak melanggar hak asasi
manusia (HAM). Dia menegaskan, setiap orang berhak melakukan apapun asalkan
tidak mengganggu hak-hak masyarakat lainnya. “Kami pun punyak hak untuk melihat
hal-hal baik sesuai amanat HAM. Jangan disalahartikan adanya HAM justru bisa
berbuat seenaknya,” imbuhnya.
Tingginya angka
pernikahan dini di Bojonegoro, juga berbanding lurus dengan tingginya angka
perceraian. Menurut Irma, kedua fenomena tersebut harus disikapi serius oleh
pemerintah setempat. Sebab, adanya pernikahan dini justru menghasilkan
masalah-masalah baru. “Sebenarnya Dinas P3AKB (Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak Dan Keluarga
Berencana) Bojonegoro sudah melaksanakan tugasnya dengan baik
untuk menangani masalah itu. Tetapi orang tua dan masyarakat juga memiliki
peran penting untuk mencegah pernikahan dini,” tandasnya. (din)
Tulis Komentar