Keterangan Gambar : Pakar Molekuler Ekologi Unair, Dr. Eng. Sapto Andriyono, S.Pi., MT., mengisi kuliah umum prodi Ilmu Lingkungan Unigoro, Senin (21/7/25).
BOJONEGORO – Prodi Ilmu Lingkungan Universitas Bojonegoro (Unigoro) menggelar kuliah umum di Hall Suyitno, Senin (21/7/25). Kuliah umum kali ini menghadirkan Pakar Molekuler Ekologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Dr. Eng. Sapto Andriyono, S.Pi., MT. Untuk membahas pengelolaan mangrove sebagai investasi berkelanjutan lingkungan.
Kaprodi Ilmu Lingkungan Unigoro, Oktavianus Cahya A., ST., M.Sc., menerangkan, pemilihan tema kuliah umum tersebut berkaitan dengan fenomena menyusutnya luas kawasan mangrove saat ini. Mangrove tidak sekedar menjadi tanaman penghias bibir pantai, melainkan menjadi penyeimbang ekosistem daratan dan lautan. “Rekayasa lingkungan ekosistem di kawasan pesisir pantai sangat dibutuhkan. Untuk mempertahankan keberadaan mangrove,” terangnya.
Wakil Dekan Fakultas Sains dan Teknik Unigoro, Herta Novianto, ST., SH., M.Si., juga menambahkan, mangrove adalah ekosistem unik yang terdiri dari tumbuhan yang hidup di kawasan pesisir akibat pengaruh pasang surut air laut. Mangrove yang juga dikenal sebagai hutan bakau memiliki peran penting bagi daerah-daerah pesisir pantai. “Kita bisa menjumpai mangrove di Tuban. Sedangkan di Bojonegoro meskipun tidak ada mangrove di sini, kita bisa mempelajari bagaimana menjaga ekosistem di kawasan tepian perairan. Terutama pesisir Bengawan Solo di Bojonegoro,” imbuhnya.
Sementara itu, Rektor Unigoro, Dr. Tri Astuti Handayani, SH., MM., M.Hum., menuturkan, setiap prodi di Unigoro diwajibkan menyelenggarakan kuliah praktisi dan kuliah umum untuk meningkatkan kapasitas mahasiswa. Sehingga kecerdasan tekstual bisa diimbangi dengan kecerdasan kontekstual. “Melalui forum kuliah umum, kami berharap mahasiswa dan siswa-siswi yang hadir mendapatkan wawasan baru. Khususnya tentang pengelolaan mangrove yang mungkin nantinya kita bisa aplikasikan bersama,” tuturnya.
Di hadapan para peserta, Sapto mengungkapkan, Indonesia memiliki kawasan mangrove terluas dibanding negara-negara lain. Tercatat, ada 53 spesies mangrove. Sayangnya, luasan kawasan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan. “Penyebab utamanya adalah konversi lahan pesisir menjadi tambak, kawasan industri, dan pemukiman. Fenomena yang terjadi saat ini, banyak kawasan industri dan perumahan yang tepat berada di tepi laut,” ungkapnya.
Wakil Dekan III Fakultas Perikanan dan Kelautan Unair ini memaparkan, mangrove memiliki berbagau fungsi ekologi. Sebagai penahan abrasi dan badai, penyerap karbon, tempat berlindung biota laut, sekaligus menjadi penyaring limbah alami. Selain itu, mangrove juga memiliki fungsi sosial dan ekonomi bagi masyarakat sekitar. Sapto mencontohkan, di beberapa kota kawasan mangrove menjadi ekowisata berbasis komunitas. Serta menjadi nilai budaya kearifan lokal. “Seperti di Ujungpangkah, Gresik, ada festival mangrove yang diadakan setiap tahun,” paparnya.
Sapto melanjutkan, selain konversi lahan ada banyak
hal yang mengancam keberlangsungan mangrove. Seperti penebangan liar,
pencemaran lingkungan, dan dampak perubahan iklim. Pemerintah sebenarnya telah
mengeluarkan beberapa regulasi untuk pengelolaan mangrove di Indonesia. UU
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun
2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Ada beberapa
strategi pengelolaan mangrove berkelanjutan yang bisa diadaptasi oleh
masyarakat. “Kita bisa merestorasi dan merehabilitasi kawasan mangrove. Kemudian
penanaman mangrove harus berbasis pemberdayaan masyarakat. Menetapkan zonasi
kawasan lindung mangrove. Serta kita bisa menggunakan teknologi drone untuk
monitoring kawasan mangrove itu,” jelasnya.
Kuliah umum yang dimoderatori Sholikhati Indah P.,
ST., M.Si., berlangsung interaktif. Pelajar dan mahasiswa Unigoro memanfaatkan kesempatan ini untuk
berdiskusi dengan praktisi ekologi. (din)
Tulis Komentar