Keterangan Gambar : Ahli klimatologi Universitas Bojonegoro (Unigoro), Dr. Heri Mulyanti, S.Si., M.Sc., menjelaskan kondisi kelembaban atmosfer melalui citra satelit Himawari, Senin (21/4/25).
BOJONEGORO - Ahli klimatologi Universitas Bojonegoro (Unigoro), Dr. Heri Mulyanti, S.Si., M.Sc., menyebut musim kemarau tahun ini akan berlangsung pendek. Fenomena ini akrab disebut kemarau basah. Seharusnya, sepuluh hari di pekan kedua dan ketiga bulan April sudah memasuki musim kemarau. Nyatanya, hujan dengan intensitas rendah hingga deras masih beberapa kali turun di berbagai wilayah.
"Perubahan iklim sulit ditentukan. Maka prediksi musimnya juga jadi lebih sulit. Ada kemungkinan kemarau di tahun ini lebih pendek karena masih disertai hujan. Jadi tidak terlalu kekeringan. Ada kemungkinan kemarau di tahun ini lebih pendek karena masih disertai hujan. Jadi tidak terlalu kekeringan,” ungkapnya, Senin (21/4/25).
Heri melanjutkan, suhu lautan dekat pulau Jawa saat ini masih hangat. Selain itu, fenomena El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) atau fenomena iklim yang terjadi di Samudra Hindia cenderung positif netral. Sehingga, potensi hujan bulan April masih ada. Justru, yang perlu waspada saat musim kemarau berlangsung pendek adalah petani tembakau.
“Petani-petani di Bojonegoro
suka menanam tembakau saat kemarau. Ini jadi komoditas utama mereka. Nah jika saat
kemarau masih beberapa kali turun hujan, yang harus dipersiapkan bagaimana
menjaga tanamannya agar tumbuh maksimal. Lalu bagaimana cara pengeringannya. Jangan sampai berdampak pada potensi
panen yang berkurang dan tidak maksimal,” jelas dosen prodi ilmu lingkungan Unigoro.
Selain ancaman pada sektor pertanian, warga juga harus
waspada terhadap berbagai macam penyakit yang muncul saat kemarau basah. Seperti
demam berdarah dan flu. Heri menganjurkan, masyarakat untuk update
informasi dari Badan Meteorologi, Klimatogi, dan Geofisika (BMKG) yang dirilis
secara berkala. (din)
Tulis Komentar